Peluang Bisnis kerajinan Kulit Buaya

uyggJAKARTA, KOMPAS.com — Tidak sedikit orang menjadikan produk kulit buaya sebagai barang hobi atau kesenangan belaka. Namanya hobi, sekalipun mahal, tetap mereka beli. Akan tetapi, tidak banyak yang lebih memilih menghasilkan sendiri untuk dijual ketimbang sekadar membeli atau menjual kembali barang yang dibelinya ke sesama pehobi. Pardianto adalah salah satu di antaranya. Pria ini mulai menyukai berbagai produk dari kulit, seperti sepatu, ikat pinggang, dan dompet, sejak 1991. Berselang delapan tahun kemudian sebagai pehobi, ia memutuskan terjun sebagai pengusaha kerajinan kulit buaya itu. “Lambat laun, ada niat dari saya untuk belajar bagaimana membuatnya dari perajin lain dan akhirnya kita bisa menghasilkan sendiri. Daripada hanya jadi penikmat saja yang hanya menghabiskan uang,” ujarnya kepada Kompas.com ditemui di ajang pameran fashion dan kerajinan tangan di JCC Senayan, Jakarta, akhir pekan lalu. Kini, melalui usaha kerajinan kulit buaya asli dari Provinsi Papua tersebut, ia mengaku mampu menghasilkan pendapatan kotor Rp 100 juta dalam sebulan. Itu pun masih bentuk industri rumahan dengan bantuan alat manual non-mesin modern atau handmade dan tidak bermerek jual. Pegawainya pun hanya berjumlah lima orang. Pardianto mengatakan, populasi buaya di Papua terbilang banyak. Ini membuat keberadaannya cukup membahayakan bagi masyarakat, terutama anak-anak di sekitar rawa, sungai, dan pantai. Menurutnya, hewan ini pun akhirnya menjadi salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Warga memanfaatkan buaya mulai dari kulit, daging, gigi, telur, hingga empedunya. Selain hasil penangkapan, ada juga yang ditangkarkan di suatu tempat hingga menghasilkan keturunan. “Kita di Papua sudah memiliki izin dari pemda untuk membudidayakan buaya. Kita juga bermitra dengan konservasi sumber daya alam di sana. Mungkin kalau di wilayah Indonesia barat, membunuh buaya hal yang legal, tapi di Papua tidak demikian,” ungkapnya. Kulit buaya yang didapat Pardianto berasal dari masyarakat sekitar. Ia hargai kulit Rp 30.000 per inci. Seekor buaya ukuran besar bisa mencapai 20 inci kulit dan dalam 1-3 hari bisa mendapat pasokan sekitar 200 inci. Kulit mentah itu berbentuk kasar, bersisik hitam, dan masih banyak daging yang menempel. Melalui industrinya, kulit tersebut disamak atau dihaluskan dengan cara manual tanpa bantuan mesin modern. Ketika dirasa sudah halus, maka layak pakai atau sesuai standar dijadikan sebagai bahan dasar kain. Dalam sebulan, rumah produksinya mampu memproduksi sekitar 500 dompet, 25 tas wanita, dan 150 ikat pinggang. Sebagian besar wilayah pemasarannya masih sebatas di Papua saja, seperti Timika, Sorong, dan Merauke. Kendati demikian, ia mengaku penjualannya tidak pernah merugi. “60 persen dari total produksi sebulan bisa habis terjual. Kebanyakan pembeli dari kalangan pejabat, pengusaha yang berkunjung ke Papua, dan juga satgas yang bertugas di wilayah perbatasan,” ujarnya. Wilayah Jakarta dan sekitarnya hanya dijadikan tempat pameran. Akan tetapi, ia juga menyadari pasar di Jawa sangat potensial bagi produknya. Maka dari itu, ia juga mempunyai tempat produksi sekaligus showroom di daerah pasar wisata Sidoarjo, Jawa Timur, dengan pasokan kulitnya tetap dari Papua.

Harga lebih murah.

Produk Pardianto pun direspons cukup baik oleh konsumen, harga yang ditawarkan terbilang murah dibanding produk serupa di tempat lain. “Bila saya ke suatu toko di Plaza Senayan, sepasang sepatu dengan merek terkenal Hermes atau Louis Vuitton seperti ini bisa mencapai Rp 40 juta, dompet dan ikat pinggang Rp 15 juta, dan tas wanita bisa mencapai Rp 400 juta,” ungkap salah seorang pembeli saat mengunjungi stan pameran Purdianto. Hanya saja, ia mengaku, penyamakan kulit buaya dari kerajinan Pardianto memang tidak sehalus dengan buatan brand-brand ternama itu yang menggunakan mesin modern ratusan juta rupiah. Menurutnya, bila Purdianto mau bermodal mesin tersebut dan memakai merek, maka harga jual sekarang bisa 2-5 kali lipat. Sementara produk Pardianto dibanderol mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, seperti dompet dan ikat pinggang kisaran Rp 300.000, sepatu Rp 1,8 juta-Rp 2 juta, dan tas wanita Rp 2 juta-Rp 2,5 juta. Dari ketiga barang tersebut, Pardianto mengakui, tas wanita dan dompetlah yang paling laku di pasaran. “Harga fashion kulit buaya ini umumnya diketahui oleh masyarakat kalangan menengah atas. Kalau ada tamu ke rumah lalu saya bilang harganya Rp 5 juta dan itu asli, pasti bakal langsung dibayar,” ungkapnya tertawa lepas sembari menunjukkan dompet kulit pribadinya berumur lebih dari enam tahun merupakan hasil produksi sendiri. Ia mengungkapkan, butuh permodalan yang cukup besar bila ingin menerapkan mesin produksi modern. Padahal, tawaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari berbagai bank daerah berdatangan. Namun, hingga saat ini ia masih belum berani mencobanya. Selain permodalan, juga butuh perizinan, sumber daya manusia lebih banyak dan sebagainya. “Saya bersyukur dengan usaha yang sekarang ini bisa punya rumah, tanah, dan kendaraan pribadi. Selama 14 tahun, usaha ini pun juga tidak pernah merugi,” tutur pemilik CV Argo Boyo Timika ini.

Dipublikasi di Tak Berkategori | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar